Skip to main content

Posts

Showing posts from 2019

P E R C A Y A

Kamar kost berukuran empat kali dua meter itu tampak lenggang. Hanya ada suara kipas angin yang terdengar lebih keras dari biasanya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, di luar katak-katak tengah merayu awan agar menurunkan hujan. Kali ini, entah kamana lagi kamu dan isi kepalamu berpergian. Mungkin sedang bertengkar dengan logika, atau mungkin sedang tersungkur lesu di pojok paling sunyi dari nyata. Sepertinya ini sudah jadi kebiasaanmu. Duduk diam sibuk dengan isi kepalamu sendiri. Kau suka sekali mempersulit yang mudah, merunyamkan yang sulit. Hidupmu kehilangan kendali, sementara sang waktu tak bisa menunggu lebih lama lagi. Kali ini, entah apa lagi yang membuatmu ragu. Entahlah. Mungkin kalau di kumpulkan, waktu yang sudah kau habiskan untuk mempertimbangkan sesuatu, bisa di gunakan untuk mewujudkan satu hal dalam hidupmu. Hidupmu akhir-akhir ini memang di penuhi dengan warna abu-abu. Pertanyaan demi pertanyaan selalu jadi jalan paling memusingkan untuk kau lewati. Sa

Sebuah Awal — Patah Hati Terencana

Pernah ku kira kau adalah semesta yang aku cari, ternyata kau tak lebih dari seseorang yang hadir hanya untuk melukiskan kenangan di hati. Awalnya hadirmu begitu manis, tak pernah menyangka akan berakhir miris. Kau hempaskan perasaanku ke dasar nestapa, hingga aku terjerembab dan luka. Ya aku luka... Olehmu yang hanya sebatas singgah. Kehilanganmu adalah perjalanan pendewasaan. Juga tentang belajar cara besabar atas tiap derai luka yang menghujam perasaan. Jatuh cinta adalah patah hati terencana. Aku tau. Tapi mencintaimu, adalah yang paling melelahkan. Untuk itu, aku ingin mencoba mengikhlaskan—tentangmu. Dan untuk menghargai tiap prosesnya, mulai hari ini aku akan mencoba menuliskannya.

All I Ask (Cerpen)

Malam menyelimuti kota dengan hening. Angin merembas masuk melalui celah jendela. Gigil mulai menyelubungi raga. Ku tarik kaitan jaketku ke atas, menambah kayu bakar yang mulai habis. Suara gemeletuk kayu dari lubang asap terdengar lebih keras lagi. Suhu mulai kembali hangat. Di atas kursi rotan, satu gelas coklat panas ku seruput pelan. Mataku terpejam, merasakan tiap tegukan yang mengalir di ruas tenggorokan. Darahku berdesir. Ada ketenangan disana. Ku tarik napas dalam-dalam. Ada lega yang entah bagaimana caranya menyeruak merasuki kalbu. Hembusan kedamaianpun tak terelakkan. Mataku masih terjaga. Padahal jarum pada jam dinding sudah menunjuk angka 2 lewat 23. Cukup malam bagi seseorang belum menutup netra. Sebentar lagi ayam-ayam jantan akan terbangun dan saling bersaingan mengeluarkan kokokan terbaiknya. Ku bangunkan tubuhku dari kursi. Saatnya tidur, pikirku. Tatkala membuka pintu kamar, kakiku tiba-tiba terasa seperti menendang sebuah buku. Ku tatap samar buku itu, s