Skip to main content

All I Ask (Cerpen)


Malam menyelimuti kota dengan hening. Angin merembas masuk melalui celah jendela. Gigil mulai menyelubungi raga. Ku tarik kaitan jaketku ke atas, menambah kayu bakar yang mulai habis. Suara gemeletuk kayu dari lubang asap
terdengar lebih keras lagi. Suhu mulai kembali hangat.
Di atas kursi rotan, satu gelas coklat panas ku seruput pelan. Mataku terpejam, merasakan tiap tegukan yang mengalir di ruas tenggorokan. Darahku berdesir. Ada ketenangan disana. Ku tarik napas dalam-dalam. Ada lega yang entah bagaimana caranya menyeruak merasuki kalbu. Hembusan kedamaianpun tak terelakkan.
Mataku masih terjaga. Padahal jarum pada jam dinding sudah menunjuk angka 2 lewat 23. Cukup malam bagi seseorang belum menutup netra. Sebentar lagi ayam-ayam jantan akan terbangun dan saling bersaingan mengeluarkan kokokan terbaiknya.
Ku bangunkan tubuhku dari kursi. Saatnya tidur, pikirku.
Tatkala membuka pintu kamar, kakiku tiba-tiba terasa seperti menendang sebuah buku. Ku tatap samar buku itu, sampulnya abu-abu. Nampak lusuh dan berdebu. Ku dekati buku itu lalu mengambilnya. "All I Ask" judul buku itu. Yang tertulis menggunakan kombinasi warna merah dan biru.
Di halaman pertama terdapat tulisan
"Yang pertama untuk yang terakhir." semacam kalimat pengantar untuk sebuah buku pada umumnya.
Ku buka lambaran selanjutnya. Dan buku itu telah berhasil membawaku pada masa 10 tahun lalu.
****

Suatu ketika di penghujung November 2009.

Tatkala hendak memejamkan mata, sayup-sayup ku dengar suara pintu rumahku di ketuk oleh seseorang. Siapa pula malam-malam begini yang datang berkunjung ke rumah seseorang. Pikirku. Dengan setengah malas, ku bangunkan tubuku dari tempat tidur.

"huaaaaammmm" aku menguap panjang. Pelan-pelan ku langkahkan kaki menuju pintu depan. Ku ambil sapu untuk berjaga-jaga siapa tau yang mengetuk adalah maling. Pelan. Ku buka tirai jendela. Sesosok tubuh perempuan samar terlihat. Namun wajahnya tak asing.

"Nayna Hafizhah" pikirku. Reflek langsung ku buka pintu. Belum sempat aku bertanya kenapa, dia sudah langsung memelukku. Seiring dengan itu tangisnya pecah. Sampai bajuku terasa basah di bagian dada oleh air matanya.

Setelah cukup tenang, ku dudukkan ia di kursi tepat 6 langkah di belakang kami. Ku mengusap lembut kepalanya, masih menenangkannya di dekapanku.

"Nay...."
Ucapku

"Bagas, Ren.."

"Iya kenapa kenapa dengan bagas Nay?"

"Dia jahattt Ren... Dia jahat sama aku. Padahal, padahal....."
Ia tak menyelesaikan kalimatnya. Tangisnya kembali pecah. Tangannya memberontak. Ku eratkan pelukanku, memberinya tenang.

Diam-diam, sesak merasuki dadaku. Sungguh sakit melihat perempuan yang teramat ku cintai ini di sakiti orang lain. Ingin ku hajar lelaki itu. Kedua tanganku mengepal keras.

"Apa perlu aku hajar dia Nay?" Tawarku.

"Jangan Ren. Jangan. Aku gak mau kamu berurusan dengan laki-laki brengsek itu."

"Orang brengsek tapi tetap kamu sayang Nay."

"Sekali lagi aku tau dia nyakitin kamu. Gak akan ada yang bisa ngalangin aku buat ngehajar dia Nay."
Ucapku dengan nada geram.

"Terima kasih Ya Ren." ia kembali memelukku erat. Kehangatan sekaligus sesak berkombinasi di bagian ulu hati.

Perempuan ini begitu dekat sekarang, tapi aku tak pernah bisa memilikinya. Ia perempuan yang membuatku menemukan titik akhir pencarian. Sekaligus jalan buntu yang membuatku tersesat dan tak bisa kembali. Celakanya, ia tak lebih menganggapku sebagai seorang sahabat. Sungguh kisah bertepuk tangan yang tragis.

Suaranya menyadarkanku dari lamunan.
"Ren.. Anterin pulang." Ucapnya

"Kamu tidur di sini aja Ya. Udah jam 11 malam loh ini. Besok pagi aja ya aku antar pulang." Tawarku

"Mau pulang....." Pintanya lagi

"Siniin HPnya."

"Buat apa?" sambil memberikan hp-nya.

"Nelpon Ibu sama bapak kamu dong Nay. Ngasih tau, anaknya lagi patah hati. Nangis-nangis."

"Ishhhh, gak lucu ahh. Kembaliin sini Hpku.."Ia mencoba merebut kembali hpnya dari tanganku. Ia menggelitik ketiakku, memukul-mukul bahuku.

"Sakit aww, sakitt.. Iyaa iyaa. Gak bilang gitu Aku tu Nay." Tuturku akhirnya menyerah.

"Kembaliin...." Pintanya lagi dengan nada sebal.

"Iyaa, bentar. Nah ini." kuserahkan Hp itu setelah menyalin nomer papanya Nayna."

"Tuuttttt..tuuutttt." suara telpon belum terangkat.

"Halo selamat malam, siapa yaa..?"

"Ini Rendra Om. Cuma mau ngasih tau kalau Nay sekarang di rumah saya. Tadinya habis antar alat-alat band ke rumah, saya mau anterin pulang. Tapi dia malah kenyenyakan tidur di sofa. kecapean gara-gara seharian ngurusin acara kampus."

"Dasar anak itu. Bener-bener. Untung di rumah kamu. Yaudah gak apa-apa. Om percaya sama Rendra."

"Terima kasih Om."

"Tuuttttttttt." Suara telpon mati.

"Dasar.... Bisa aja cari alasannya kamu mahh.." Sembari menabuk kepalaku.

"Auu.. Sakit...."
"Lihat itu muka udah kayak panda gak tidur 3 malam. Dari pada nanti kamu di introgasi sama bokap kan?" ucapku." Ucapku lagi.
"Yaudah tidur sana di kamarku. Biar aku tidur di sofa aja."

***

Pagi itu aku mengantar Nayna kembali kerumahnya.

"Gak mau mampir dulu Ren." Tawar papa Nayna.

"Nggak Om, saya duluan aja. Ada janjian sama temen."

"Yaudah kalau gitu. Sekali lagi makasih yaa udah jagain anak om. Maaf ngerepotin. Dasar anak ini memang..." Sambil merangkul gemas perempuan di sampingnya.

"Auu,,, papa... Sakit ahh." Jawab perempuan itu sebal.

"Iyaa Om sama-sama. Yaudah, saya pamit ya Om. Bye Nay...." Ucapku kemudian.

Selepas itu, aku beranjak dan menyalakan motorku. Sebenernya gak ada janjian sama temen hari ini. Tapi aku memang berencana ingin pergi ke suatu tempat. Namun, ketika melewati sebuah taman yang tak jauh dari komplek rumah Nayna, aku melihat seorang laki-laki sedang duduk termangu di sana. Pakaiannya lusuh, rambutnya berantakan.

"Itukan Bagaskara." pikirku.

Tanpa pikir panjang, aku berhentikan motorku di parkiran taman. Ku hampiri dia. Tiba-tiba rasa geram dan jengkel merasuki diriku. Rasanya ingin ku hajar laki-laki itu.

"Bagas...."
Laki-laki itu menoleh...
"braaakkk...." Satu buah pukulan cukup untuk membuat laki-laki di hadapanku tadi tersungkur. Belum sempat laki-laki itu sadar, pukulan keduaku siap melayang.

"Bammmm..." bibir sebelah kiri langsung terkoyak tipis.

"Tunggu Ren... Ada apa inii....? Aaaaawww." Belum sempat ia menepis, pukulan ke tigaku telah lulus mengenai perutnya.

Ku tarik kerah bajunya, ia meronta. Menatapku tajam.

"Ada apa Ren?" Ia masih kelihatan bingung dengan situasinya.

"Kenapa kau sakitin Nayna Gas. Kenapa?" Tanyaku geram.

"Bukan gitu maksudku Ren. Tolong dengerin dulu penjelasanku.."

"Aaargggghhh.." Ku lepas tarikan tanganku di kerahnya. Dia kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur.

"Semua karena kamu Ren.." Ucapnya.

"Haaa? Kok aku?" Jawabku tidak mengerti.

"Dengerin dulu penjelasanku Ren." Ucapnya memohon.

Akhirnya aku setuju untuk mendengar penjelasannya. Sekarang, kami tengah duduk di cafe tempat biasa anak kampus nongkrong akhir pekan. Di daerah bilangan Bengkulu.

"Jadi kenapa kamu putusin Nayna Gas." Aku membuka pembicaraan.

"Semua karena kamu Ren."

"Iyaa kenapa denganku Gas?"

"Aku tau kamu suka Nayna Ren. Aku tau kamu berkorban agar persahabatan kita bertiga tidak berantakan."

"Kamu sadar tidak? Kamu udah merusak persahabatan kita bertiga dengan putusin Nayna."

"Tapi, aku merasa Nayna akan lebih baik sama kamu. Bahkan kamu adalah orang yang paling dekat dengan orang tua Nayna."

"Tapi dia sayangnya sama Kamu Gas."

Lelaki di hadapanku itu diam.

"Dia sayang banget sama kamu Gas. Makanya aku rela ngerelain perasaanku demi kalian. Aku relain juga karena aku percaya kamu bisa jagain Nayna." Ucapku lagi..

"Kenapa diam Gas? Gak punya alasan lagi? Ahh payah Lo.." Lanjutku..

"Aku kelihatan bodoh banget ya Ren."

"Memang Lo bodoh Gas. Pengen gue tabok tau gak.."

***

Setelah berbicara panjang lebar. Kemudian kami sepakat untuk membujuk Nayna kembali pada Bagas. Meski dengan sedikit ketidakrelaan di hati. Aku tau aku mungkin orang paling bodoh yang melewati kesempatan ini. Biarlah, aku merelakan perasaanku terkubur kembali. Bersama harapan yang terlanjur ku matikan sendiri.

Aku memang teramat mencintai Nayna. Tapi, aku lebih mencintai persahabatan kami bertiga. Aku hanya tidak rela, persahatan yang sudah kami jalin selama ini harus berakhir karena masalah asmara. Sungguh masalah kelasik jika mengingat persahabatan laki-laki dan perempuan tak akan pernah bisa terjalin lama. Sebab, entah salah satu atau keduanya pasti akan saling jatuh cinta.

Akan teramat beruntung jika berakhir dengan happy ending.  Tapi kabar buruknya, rata-rata persahabatan laki-laki dan perempuan kebanyakan berakhir di lembah nestapa. Entah salah satu atau keduanya terluka. Sekali lagi, persahabatan antara laki-laki dan perempuan adalah ekspektasi yang sia-sia.

Tapi tidak apa-apa. Aku percaya, kelak aku akan menemukan orang yang akan menarikku dari lembah nestapa dan mengajariku mengeja bahagia dengan kesederhanaannya.

***

Malam itu juga aku langsung mengajak Nayna pergi ketempat yang sudah aku dan Bagas rencanakan.

"Nay. Aku sudah ketemu bagas tadi."

"Jangan bilang kamu hajar dia?"  Nadanya terdengar sedikit panik.

"Kamu terlambat. Dia sudah babak belur aku buat Nay. Mungkin sekarang tengah terbaring lemas di rumahnya."

"Ishh Tarendra... Gass.." Ia menggigit bibirnya sendiri. Tangannya gelisah.Wajah panik tak terhindarkan. Tanpa sadar dia menyebut namaku dan nama laki-laki itu.

Ia diam tak menjawab.

"Nay..." ku genggam tangannya.

"Aku suka kamu Nay. Sudah lama banget..." Ucapku tiba-tiba.

"Sejak kapan Ren?" Tanyanya...

"Sejak kita kelas 2 SMP. Sampai sekarang perasaan itu masih sama."

"Ren..." Matanya berkaca-kaca.

Ku berdirikan wanita itu. Ku tatap nanar matanya. Rambutnya yang panjang hitam perlahan ku elus lembut. Ku mengecup keningnya lalu memeluknya.

Dalam dekapannya aku berbicara.
"Nay. Aku memang teramat suka kamu. Tapi aku sudah rela kamu milih Bagas. Laki-laki itu juga gak kalah besarnya cinta kamu Nay."

"Tapi dia udah putusin aku Ren. Aku sayang dia. Tapi juga benci dia Ren" pelukannya bertambah erat.

"Percaya aku Nay, dia masih teramat cinta kamu."

Aku melepas pelukan itu. Dan kini Bagas telah berdiri tepat di belakang Nayna.

"Kenapa ada kamu...?" Tanya nayna bingung.

"Ini rencana kami Nayna." Jawabku..

"Bagas udah cerita ke aku, kenapa dia putusin kamu. Percaya aku Nay, Bagas masih sayang kamu."

"Maafin aku Nay," Ucap bagas lirih.

Nayna masih terlihat bingung. Situasi cepat sekali berubah. Mungkin dia masih berpikir mana yang harus dia rasakan sekarang. Akupun merasakan hal yang sama. Rasa yang campur aduk. Membuat kami bertiga saling diam beberapa saat.

Akhirnya, aku memutuskan untuk memeluk mereka berdua.

Setelah malam itu, aku sudah jarang sekali bertemu mereka berdua. Ada kelegaan yang ku rasakan.

Dua tahun kemudian aku melanjutkan studyku di Kota Yogya, sementara Nayna dan Bagas setelah lulus mereka memutuskan menikah dan membangun usaha bersama-sama.

***

"Mas, kok belum tidur?" Sebuah suara mengagetkanku.

"Kok kamu udah bangun sayang? Ini kan baru jam 3?"

"Soalnya pas aku bangun mas gak ada. Biasanya kan kalau kebangun aku langsung meluk kamu biar langsung tidur."

"Gemeshin banget sih kamu Sayang.." Aku mengecup keningnya lalu meluknya erat. Sungguh beruntung menemukan wanita sederhana ini.

Satu hal yang aku pelajari dari kisah persahabatan kami bertiga dulu. Bahwa kita memang gak bisa memilih hati kita buat jatuh kemana. Tapi, kita bisa memilih bentuk bahagia yang seperti apa yang kita ingini. Dan aku bersyukur pernah teramat mencintai Nayna, sebelum seseorang bernama Nadira Renjana membuatku mengenal bahwa jatuh cinta tidak rumit. Bahwa mencintai adalah proses mengenal seumur hidup.

END

Comments

Popular posts from this blog

Hidup dan impian

Assalamualaikum. Malem gays, apa kabs? Semoga selalu dalam lindunganNya ya. Langsung read lah :). Sesungguhnya hidup akan sia-sia tanpa adanya tujuan, hidup pula akan hampa tanpa impian. Banyak ilustrasi untuk menggambarkan sebuah kehidupan. Menurut ku hal itu wajar-wajar saja, mengingat setiap manusia itu punya karakternya masing-masing, dan masing-masing manusia pun punya cara tersendiri untuk mengambil pelajaran yang ia alami dari masa lalu. Contoh saja, ada yang menggambarkan kehidupan layaknya seperti sungai yang mengalir. Mungkin gambaran itu benar, tapi tak selamanya menjadi sebuah patokan. Hidup itu memang akan terus mengalir seperti sungai, sama dengan waktu yang akan terus berjalan dan berlalu. Tapi, sungai itu mengalir kebawah, tidak sama seperti manusia yang harus selalu naik ke atas. Maksudnya, dari perjalanan hidupnya setiap hari, setiap manusia harus terus belajar menjadi lebih baik, dan baik lagi. Kehidupan di dunia ini tidak sama seperti cerita-cerita di "No

3 unsur fotografi (threengle)

Sebelum kita mempelajari teknik-teknik fotografi, sebaiknya kita mengetahui apa unsur pembentuk dari fotografi tersebut. Dalam postingan aku sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa "Fotografi adalah seni dan penghasilan gambar dan cahaya pada objek/permukaan yang dipekakan". Nah, dari sini kita bisa menggaris bawahi, bahwa unsur fotografi ini sebenarnya tidak banyak. Menurut pendapat aku. Dari yang aku pelajari dari artikel-artikel yang ada di Internet. Ada 3 unsur pokok pembentuk fotografi ini. 1. Pencahayaan (lighting)    Ini adalah hal utama penentu hasil foto bagus atau tidaknya. Karena tanpa adanya cahaya. Pasti hasil foto itu gelap. Kenapa? Ini sudah termuat dalam prinsip kerja kamera. Prinsip kerja kamera adalah menangkap cahaya. Cahaya masuk ke kamera lewat lensa (Subjek dapat dilihat terlebih dahulu melalui view finder), difokuskan agar diterima oleh sensor cahaya yang memilah-milah cahaya berdasarkan komponennya. Informasi mengenai konsentrasi komponen cahaya in

Pertemuan Singkat

Seperti biasa, setiap sore menjelang Inara selalu menyiram tanaman di kebun bunga yang terletak di halaman depan rumahnya. tatkala, ia selalu saja tak lupa memegangi dengan lembut bunga-bunga yang sudah mulai merangkak layu. "hmm" inara bergumam, merasakan harumnya bunga-bunga di kebun itu. sinar senja sore dari balik-balik pohon di luar sana menambah ketenangan hati, angin pun tak lupa sesekali berhembus lambat namun terasa nikmat untuk tak lupa selalu saja membuat Rara ( Nama panggilan Inara) terenyuh merasakannya. Di tempat lain,  seorang pemuda berumur 23 Tahun sedang terburu-buru menembus waktu. Ia mengayuh sepedanya dengan kencang, melewati gang-gang kecil di komplek perumahan elit di daerah kota jambi. Namanya Gibran, seorang mahasiswa jurusan pertanian di salah satu universitas negeri di jambi. Ia harus secepatnya sampai ketempat kerja kalau tidak ingin di pecat. setidaknya sudah 2 kali teguran yang gibran terima dari perusahaan, padahal belum ada satu bulan gibran