Skip to main content

Posts

Mula-mula?

Mula-mula kamu ingin hidup. Lalu, tiba-tiba kamu ingin bisa berjalan, berlari dan tumbuh lebih tinggi. Ketika beranjak ke usia anak-anak, tiba-tiba kamu ingin jadi ultramen atau tokoh-tokoh di kartun yang kamu tonton. Katamu, kayaknya jadi doraemon yang bisa pergi kemanapun lewat pintu kemana saja itu menyenangkan yaa. Lalu kemudian setelah dewasa kamu sadar, ga ada yang instan di dunia ini. Semua hal dilalui dengan usaha dan kerja keras.  Mula-mula kamu ingin hidup. Lalu, tiba-tiba kamu ingin dicintai dengan sangat besar oleh seseorang dan serasa hidup hanyalah tentang kamu dan dia. Remaja menjadi masa-masa paling indah untuk jatuh cinta. Tapi kemudian banyak hal semakin mengganggumu, merisaukan hidupmu yang nyaman. Menjadi dewasa ternyata memang ga mudah. Lalu kemudian lagi perspektifmu tentang cinta mulai berubah. Patah hati menjadi hari-hari paling buruk di tahun-tahun itu. Bagaimana cinta dapat berubah secepat itu? Katamu pada entah apa. Bahwa kamu tau tidak semua yang kita upayak
Recent posts

P E R C A Y A

Kamar kost berukuran empat kali dua meter itu tampak lenggang. Hanya ada suara kipas angin yang terdengar lebih keras dari biasanya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, di luar katak-katak tengah merayu awan agar menurunkan hujan. Kali ini, entah kamana lagi kamu dan isi kepalamu berpergian. Mungkin sedang bertengkar dengan logika, atau mungkin sedang tersungkur lesu di pojok paling sunyi dari nyata. Sepertinya ini sudah jadi kebiasaanmu. Duduk diam sibuk dengan isi kepalamu sendiri. Kau suka sekali mempersulit yang mudah, merunyamkan yang sulit. Hidupmu kehilangan kendali, sementara sang waktu tak bisa menunggu lebih lama lagi. Kali ini, entah apa lagi yang membuatmu ragu. Entahlah. Mungkin kalau di kumpulkan, waktu yang sudah kau habiskan untuk mempertimbangkan sesuatu, bisa di gunakan untuk mewujudkan satu hal dalam hidupmu. Hidupmu akhir-akhir ini memang di penuhi dengan warna abu-abu. Pertanyaan demi pertanyaan selalu jadi jalan paling memusingkan untuk kau lewati. Sa

Sebuah Awal — Patah Hati Terencana

Pernah ku kira kau adalah semesta yang aku cari, ternyata kau tak lebih dari seseorang yang hadir hanya untuk melukiskan kenangan di hati. Awalnya hadirmu begitu manis, tak pernah menyangka akan berakhir miris. Kau hempaskan perasaanku ke dasar nestapa, hingga aku terjerembab dan luka. Ya aku luka... Olehmu yang hanya sebatas singgah. Kehilanganmu adalah perjalanan pendewasaan. Juga tentang belajar cara besabar atas tiap derai luka yang menghujam perasaan. Jatuh cinta adalah patah hati terencana. Aku tau. Tapi mencintaimu, adalah yang paling melelahkan. Untuk itu, aku ingin mencoba mengikhlaskan—tentangmu. Dan untuk menghargai tiap prosesnya, mulai hari ini aku akan mencoba menuliskannya.

All I Ask (Cerpen)

Malam menyelimuti kota dengan hening. Angin merembas masuk melalui celah jendela. Gigil mulai menyelubungi raga. Ku tarik kaitan jaketku ke atas, menambah kayu bakar yang mulai habis. Suara gemeletuk kayu dari lubang asap terdengar lebih keras lagi. Suhu mulai kembali hangat. Di atas kursi rotan, satu gelas coklat panas ku seruput pelan. Mataku terpejam, merasakan tiap tegukan yang mengalir di ruas tenggorokan. Darahku berdesir. Ada ketenangan disana. Ku tarik napas dalam-dalam. Ada lega yang entah bagaimana caranya menyeruak merasuki kalbu. Hembusan kedamaianpun tak terelakkan. Mataku masih terjaga. Padahal jarum pada jam dinding sudah menunjuk angka 2 lewat 23. Cukup malam bagi seseorang belum menutup netra. Sebentar lagi ayam-ayam jantan akan terbangun dan saling bersaingan mengeluarkan kokokan terbaiknya. Ku bangunkan tubuhku dari kursi. Saatnya tidur, pikirku. Tatkala membuka pintu kamar, kakiku tiba-tiba terasa seperti menendang sebuah buku. Ku tatap samar buku itu, s

DEAR INDONESIA

Dear Indonesia Kita memang tidak pernah tau akan di lahirkan di negara mana, dengan suku apa, oleh ayah dan ibu yang bagaimana. Namun, ketika di tanya bersyukurkah kau dilahirkan di negara ini? Aku akan menjawab dengan lantang dan keras—BERSYUKUR! Ya aku bersyukur. Sangat beruntung lahir di negara yang besar ini. Apa lagi di tengah keluarga yang harmonis dan memiliki samangat nasionalis. Meski negara ini mungkin tak sekeren dan tak sehebat negara-negara lainnya. Namun, dengan masyarakat yang memiliki jiwa pejuang, aku rasa selama kita semua mau untuk bekerja sama kita akan bisa menjadi negara yang Adidaya. Yang terpenting, kita harus sama-sama meredamkan ego masing-masing. Terlepas dari banyaknya Isu buruk yang tersebar tentang Indonesia. Bagiku Indonesia selalu hebat di hatiku. Entah di saat ia dipenuhi kemelut politik dan kasus korupsi, juga narkoba yang merajalela. Aku tetep mencintai negaraku ini. Tidak perduli siapa pemimpinnya, bagiku Indonesia tetaplah Indonesia. Selamat U

Tentang Ikhlas (Hai Agustus)

Aku tersenyum tatkala malam mengajakku bercanda. Ia mambawaku pada episode lama tentang kau dan aku yang dulu pernah menjalani kisah berdua. Kini, semua itu telah menjadi abu, seperti api yang telah membakar kayu. Ternyata ini tak seberat yang pernah aku bayangkan. Melupakanmu tak sesusah yang pernah aku pikirkan. Aku hanya perlu sedikit ruang jeda, kemudian mendengarkan pesan dari semesta melalui sela-sela malam. Setelah itu proses perenungan-perenungan yang memang kadang terasa menyebalkan. Dan setelah pintu keikhlasan perlahan terbuka. Boom.... Semua kembali seperti sedia kala. Aku tak perlu lagi memikirkanmu secara membabibuta. Aku tak perlu lagi mengingatmu sebagai rasa sakit yang pernah mendera dada. Karena mengingatmu sebagai hal yang pernah indah membuat dadaku terasa lebih lega. Sekarang, aku telah menjadikanmu pergi yang aku syukuri. Sebab dengan keputusanmu yang memilih hilang, aku menemukan banyak pelajaran hidup di sepanjang perjalanan mengikhlaskanmu. Aku juga menem

Catatan Bulan Juni

CARA BERHARAP YANG SALAH (Sebuah Kolaborasi Berdua) Karya : - Rahmad Arisandi              - Arti Rabiyatul Aku tidak ingin berharap, tapi sayang harapan bukan lah sesuatu yang bisa di kendalikan, hati kadang tak ingin mendengarkan, terlebih itu adalah bunyi pikiran. Mereka kemudian berada dalam satu riing berdebat siapa yang benar, sayang dua-duanya berakhir lebam. Aku tidak ingin berharap, namun lagi-lagi dunia menertawaiku dengan kalimat jahatnya, "Makan itu harapan," katanya puas. Ya, harapanku kembali tumbuh di tengah-tengah keresahan. Hati kembali kalah oleh pikiran dalam perdebatan itu. "Bodoh" begitu cibirnya, kenapa tak bisa mengendalikan bagian diri sendiri, lalu siapa yang akan kau kutuk kini? Kau sendiri yang melukai, maka nikmati gerimismu di pipi. Entah lah, kali ini apa yang akan aku terima dari harapan yang aku tumbuhkan sendiri. Apa kecewa lagi seperti sebelumnya, ataukah bahagia seperti yang ada dalam anganku. Ahh, kali ini resahku semakin